WAKIL Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Andy Budiman kesal dengan penilaian publik terkait putusan Mahkamah Agung memberikan ‘karpet merah’ bagi Kaesang Pangarep untuk maju di Pilkada 2024.
Ia berdalih, PSI tak tahu-manahu gugatan peraturan KPU tentang batas usia minimal calon gubernur 30 tahun yang dikabulkan MA. Pasalnya yang mengajukan gugatan partai Garuda.
Oleh karena itu, Andy meminta semua pihak supaya menghormati keputusan MA. “Kita harus menghormati keputusan hakim,” kata Andy di Jakarta, Sabtu (1/6/2024).
Polemik ini berawal dari putusan Mahkamah Agung (MA) atas uji materi Pasal 4 ayat 1 huruf d peraturan KPU nomor 9 Tahun 2020. Pasal ini mengatur tentang batas usia calon gubernur minimal 30 tahun serta calon bupati/wali kota minimal 25 tahun yang terhitung sejak penetapan pasangan calon atau paslon. Kemudian oleh MA diubah, batas usia calon terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Sebagaimana diketahui, putra bungsu Presiden Jokowi, Kesang Pangarep digadang-gadang bakal maju dalam Pilkada DKI Jakarta. Pada saat penetapan paslon nanti Kaesang belum memenuhi batas usia.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menilai wajar publik mengaitkan putusan MA ini dengan putra bungsu Jokowi. Apalagi adik kandung wakil presiden terpilih 2024, Gibran Rakabuming Raka itu diketahui baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024.
Artinya, jika merujuk pada ketentuan sebelumnya, syarat calon gubernur dan wakil gubernur berusia 30 tahun sejak ditetapkan sebagai pasangan calon pada 22 September 2024, maka Kaesang dipastikan tidak akan lolos. Belum lagi pola yang digunakan ini menurut Bivitri sama seperti Mahkamah Konstitusi (MK) yang ketika itu dipimpin paman Kaesang, Anwar Usman meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden 2024 lewat Putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023.
“Kita memang lazim melihat pola yang sudah terjadi dan pola oleh keluarga Jokowi ini. Kan sudah kelihatan waktu MK dengan bantuan paman Anwar Usman (Ketua MK) membuat pasal berubah, persis polanya, cuma beda institusinya satu MK, satu MA, pola itu sudah dilakukan dan sukses,” kata Bivitri kepada Suara.com, Minggu (2/6).
“Jadi pola itu bisa jadi salah satu alasan. Tentu saja publik boleh menduga bahwa ini adalah sebuah modus operandi.”
Selain menyoroti pola-pola tersebut, Bivitri juga turut mengkritik penalaran hukum hakim MA dalam pertimbangannya mengabulkan uji materi ini. Salah satunya pertimbangan hakim MA yang merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945.
Padahal secara konstitusional tugas MA ialah menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Sedangkan yang memiliki wewenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1944 ialah MK.
“Ini sudah keluar dari tugas konstitusional yang harusnya dilakukan oleh Mahkamah Agung,” jelas Bivitri.
Lagi pula, Bivitri menyampaikan KPU selaku pihak termohon memiliki fokus tugas terkait pelaksanaan Pemilu. Sehingga dalam PKPU yang menjadi acuan terkait persyaratan batas usai calon gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota, yakni pada tahap pendaftaran atau penetapan calon, bukan saat pelantikan.
“Jadi tidak wajar penalaran hukumnya,” ungkapnya.
Bivitri juga mengkritik penalaran hukum hakim MA dalam pertimbangannya yang menyatakan bahwasanya membatasi usai 30 tahun calon gubernur-wakil gubernur serta 25 tahun bagi bupati-wakil bupati maupun wali kota-wakil wali kota sejak penetapan pasangan calon oleh KPU hanya akan menggambarkan pelaksanaan Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tidak mengambarkan original intent atau penafsiran tekstual untuk mengakomodasi anak muda.
Padahal, lanjut Bivitri, perbedaan waktu antara proses penetapan calon dengan pelantikan hanya terpaut tiga bulan.“Apakah dengan memberikan pembedaan antara sejak penetapan paslon ke pelantikan, perbedaannya signifikan?” ungkap Bivitri. “Jadi nggak berhenti didugaan pola dan lain sebagainya, saya juga mengkritik penalaran hukum hakim MA yang menurut saya tidak wajar.”
Mengakali Konstitusi
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati juga meragukan bahwa putusan MA ini semata-mata atas nama kesetaraan dan keterwakilan anak muda. Sebab putusan tersebut dalam praktiknya jelas baginya hanya akan menguntungkan kandidat yang memiliki kekerabatan, kedekatan dengan oligarki dan politik dinasti.
Sehingga wajar menurut Neni jikalau putusan MA diduga sebagai upaya memuluskan jalan bagi Kaesang. Apalagi yang bersangkutan digadang-gadang akan maju sebagai gubernur atau wakil gubernur.
“Putusan MA ini menjadi preseden buruk dalam demokrasi dan sarat kepentingan politis. Atas nama kesetaraan dan keterwakilan anak muda memperalat dan mengakali konstitusi,” tutur Neni kepada Suara.com, Minggu (2/6).
Karena itu, DEEP telah mendesak KPU untuk tidak menindaklanjuti putusan MA ini karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. DEEP juga menuntut KPU konsisten dan imparsial, sebab tahapan pendaftaran pencalonan perseorangan atau independen sudah selesai dan sedang memasuki proses verifikasi administrasi.
“Jika KPU menindaklanjuti putusan MA, ini berarti KPU tidak inkonsisten, terjebak pada kepentingan politik pragmatis jangka pendek dan menggadaikan integritas serta mencederai demokrasi,” ujarnya.
Turunkan Maruah Ketum Parpol
Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro. Agung berpendapat publik mengaitkan putusan MA dengan Kaesang karena memiliki kemiripan pola saat Gibran ‘diloloskan’ MK.
“Mengapa publik sampai menangkap sedemikian rupa karena pernah mengalami kejadian yang sudah, dan itu waktunya tidak terlampau jauh,” jelas Agung.
Langkah pasti yang bisa diambil Kaesang untuk terlepas dari tudingan tersebut menurut Agung ialah dengan memberikan pernyataan secara tegas bahwa yang bersangkutan tidak akan maju di kontestasi Pilkada.
“Ketika PSI ingin membantah atau Kaesang memberi perbedaan tersendiri dari realitas politik hukum tadi maka yang paling tepat dan dekat yang bisa dilakukan memutuskan secara langsung pers conference untuk tidak maju di Pilkada,” ungkap Agung.
Terlebih, sebagai ketua umum PSI, Kaesang bagi Agung lebih pantas memgincar jabatan menteri atau wakil menteri. Atau paling tidak lebih baik fokus membesarkan PSI daripada ikut dalam kontestasi Pilkada yang justru dinilai menurunkan maruah ketua umum.
“Itu dalam tanda petik menurunkan maruah ketua umum partai, dan Kaesang punya jalur sendiri jangan kemudian harus dipaksakan harus sama seperti Jokowi di Solo, Gibran di Solo. Nggak harus sama track politik kandidat, tiap orang punya jalannya masing-masing dan Kaesang bisa membuktikan caranya sendiri,” pungkasnya.
Sumbet: suara