ABWNEWS – Ironi di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika terungkap temuan adanya pungutan liar (pungli). Sebenarnya apa yang terjadi dan bagaimana awal mulanya praktik haram itu bisa bebas dilakukan sampai bertahun-tahun lamanya?
Tersebutlah pada Juni 2023 dalam konferensi pers, Anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK Albertina Ho menyebutkan dugaan pungli terhadap para tahanan yang mendekam di rutan-rutan KPK. Pada awal penemuan itu, Albertina Ho menyebut periode pungli yang dilakukan adalah sejak Desember 2021 sampai Maret 2022 dengan nilai pungli mencapai Rp 4 miliar.
“Rp 4 miliar jumlah sementara,” kata Albertina saat itu.
Ternyata Pungli di Rutan KPK Sejak 2018
Temuan ini berproses. Mantan penyidik KPK Novel Baswedan sempat berkomentar bahwa sebenarnya dugaan pungli ini awal pula diungkap penyidik KPK sendiri dan dilaporkan ke Dewas KPK tapi tidak diindahkan. Atas komentar Novel tersebut, Dewas membantah.
“Justru Dewas, setelah menerima laporan tersebut, tidak menindaklanjuti dengan melaporkan kasus tersebut secara pidana ke penegak hukum yang berwenang. Mengingat subjek hukum petugas rutan, tidak termasuk sebagai subjek hukum KPK. Dewas baru merespons media setelah saya mengungkapkan hal itu melalui podcast saya,” kata Novel pada 20 Juni 2023.
“Tanggapannya sama dengan kemarin, Dewas yang mengungkapkan,” kata Albertina di hari yang sama saat dimintai tanggapan atas pernyatan Novel.
Terlepas dari itu, Pimpinan KPK bergegas tampil ke publik. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pada 21 Juni 2023 menyampaikan permintaan maaf.
“KPK memahami bahwa insan KPK merupakan manusia yang memungkinkan salah. Maka kami bangun integritas KPK secara kelembagaan atau institusionalitas, tidak secara personal. Yaitu personal atau insan KPK mungkin salah namun kami pastikan setiap kesalahan tersebut akan kami proses sesuai ketentuan yang berlaku,” ujar Ghufron.
“Kejadiannya di awal tahun 2018. Tentu merunut kejadian bukan hanya soal tidak ada buktinya, bukan hanya tidak ada tersangkanya, bahkan tersangkanya sudah tersebar,” imbuh Ghufron.
Sampai di sini diketahui bahwa ada 2 proses yang berjalan yaitu urusan etik di Dewas KPK dan perkara pidana yang diusut KPK sendiri. Berbulan-bulan kemudian diketahui ada perkembangan terkait 2 proses yang berlangsung tersebut.
Apa perkembangannya?
93 Orang Diduga Terlibat
Pada Januari 2024, Albertina Ho menyebut ada 137 orang yang pernah bekerja di Rutan KPK diperiksa Dewas KPK. Namun tidak semuanya kemudian yang diproses etik.
“Dari 137 orang yang pernah bertugas di rutan itu, 93 cukup alasan kami bawa ke sidang etik. Yang 44 tidak cukup alasan untuk dilanjutkan ke sidang etik,” ujar Albertina.
Dari 93 orang yang diduga terlibat pungli di Rutan KPK itu termasuk Achmad Fauzi yang statusnya Kepala Rutan atau Karutan. Albertina menyebut semuanya diproses etik.
“Itu kan bukan hanya penerima. Sebagai pimpinan, dia tidak bisa melakukan pembinaan, itu termasuk etik kan, macam-macam,” katanya.
Proses etik untuk 93 orang itu dibagi menjadi 9 berkas dengan rincian 6 berkas untuk 90 orang dan 3 berkas sisanya untuk 3 orang lainnya. Nilai dugaan pungli yang sebelumnya disebut Rp 4 miliar pun bertambah. Albertina menyebut total pungli yang ditemukan Albertina adalah Rp 6,148 miliar.
“Lalu kalau kita hubungkan dengan uang-uang yang diterima, itu paling sedikit menerima Rp 1 juta dan yang paling banyak menerima Rp 504 juta sekian. Itu paling banyak,” kata Albertina.
Sewindu Pungli di KPK Bikin Malu
Selain dari Dewas KPK, perkembangan informasi mengenai pungli turut disampaikan KPK. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada 25 Januari 2024 mengatakan bahwa perkara itu sudah naik ke tahap penyidikan yang dipahami bahwa sudah ada tersangka yang dijerat.
“Untuk perkara pungli rutan itu pun sudah disepakati untuk naik ke tahap penyidikan dan diekspose,” kata Alexander.
Bahkan ternyata diketahui periode pungli itu ternyata sudah terjadi sejak 2016 atau 8 tahun yang lalu. Sungguh memalukan.
“Bahkan sejak tahun sebelumnya 2016-2017 sudah (ada pungli). Mulai kemudian terstruktur sejak akhir 2018-2019 itu sudah mulai terstruktur,” kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri secara terpisah.
Dia mengatakan penyelidikan KPK mengungkap ada pembagian peran dari para pelaku. Peran itu dikenal dengan istilah ‘koordinator’ hingga ‘pengepul’.
Sanksi Etik Dijatuhkan tapi Cuma Minta Maaf
Akhirnya pada 15 Februari 2024 Dewas KPK menggelar sidang putusan etik untuk 90 dari 93 orang yang dibagi menjadi 6 berkas. Berikut nama 90 orang sekaligus nominal punglinya:
1. Deden Rochendi: Rp 425.500.000
2. Agung Nugroho: Rp 182.000.000
3. Hijrial Akbar: Rp 111.000.000
4. Candra: Rp 114.100.000
5. Ahmad Arif: Rp 98.600.000
6. Ari Teguh Wibowo: Rp 109.100.000
7. Dri Agung S Sumadri: Rp 102.600.000
8. Andi Mardiansyah: Rp 101.600.000
9. Eko Wisnu Oktario: Rp 95.600.000
10. Farhan bin Zabidi: Rp 95.600.000
11. Burhanudin: Rp 65.000.000
12. Muhamad Rhamdan: Rp 95.600.000
13. Muhammad Abduh: Rp 85.000.000
14. Suharlan: Rp 128.700.000
15. Gian Javier Fajrin: Rp 97.000.000
16. Syarifuddin: Rp 95.100.000
17. Wardoyo: Rp 72.600.000
18. Gusnur Wahid: Rp 68.500.000
19. Firdaus Fauzi: Rp 46.500.000
20. Ismail Chandra: Rp 30.000.000
21. Ari Rahman Hakim: Rp 31.000.000
22. Zainuri: Rp 8.500.000
23. Dian Ari Harnanto: Rp 4.000.000
24. Asep Jamaludin (nilai tidak dicantumkan)
25. Rohimah: Rp 29.500.000
26. Muhammad Ridwan: Rp 160.500.000
27. Ramadhan Ubaidillah: Rp 154.000.000
28. Ricky Rachmawanto: Rp 131.950.000
29. Tarmedi Iskandar: Rp 100.600.000
30. Asep Anzar: Rp 99.600.000
31. Ikhsanudin: Rp 99.600.000
32. Maranatha: Rp 99.600.000
33. Eko Tri Sumanto: Rp 37.000.000
34. Mahdi Aris: Rp 96.600.000
35. Muhammad Faeshol Amarudin: Rp 96.600.000
36. Sopyan: Rp 88.600.000
37. Dharma Ciptaningtyas: Rp 103.500.000
38. Asep Saepudin: Rp 102.600.000
39. Teguh Ariyanto: Rp 96.600.000
40. Suchaeri: Rp 95.800.000
41. Natsir: Rp 96.600.000
42. Moehamad Febri Usmiyanto: Rp 95.550.000
43. Masruri: Rp 94.600.000
44. Muhamad Sekhudin: Rp 91.600.000
45. Adryan Gusti Saputra: Rp 92.100.00
46. Fandi Achmad: Rp 88.600.000
47. Nazar: Rp 52 juta
48. Afyudin: Rp 84.100.000
49. Turitno: Rp 81.600.000
50. Restu Maulana Malik: Rp 69.950.000
51. Jepi Asmanto: Rp 68.500.000
52. Rahmat Kurniawan: Rp 57.100.000
53. Martua Pandapotan Purba: Rp 63.500.000
54. Iin Iriyani: Rp 50.000.000
55. Kinsun Kase: Rp 16.000.000
56. Hairul Ambia: Rp 2.000.000
57. Fikar Iskandar: Rp 3.000.000
58. Korip: Rp 34.000.000
59. Amirulloh: Rp 61.500.000
60. Ari Kuswanto: Rp 43.500.000
61. Harun Al Rasyid: Rp 3.000.000
62. Andi Prasetyo Pranowo: Rp 20.500.000
63. Dena Randi: Rp 13.000.000
64. Nurdiansyah Rp 30.000.000
65. M. Denny Arief Hidayatullah: Rp 22.000.000
66. Mochamad Yusuf: Rp 2.000.000
67. Gustami: Rp 14.500.000
68. Didik Hamadi: Rp 8.000.000
69. Mohamad Yusuf: Rp 12.000.000
70. Andi Makkasopa: Rp 4.000.000
71. M. Fuad: Rp 12.000.000
72. Mekel Jaka Prasetia: Rp 9.000.000
73. Agung Sugiarto: Rp 4.000.000
74. Diantara: Rp 6.000.000
75. Sutrisno: Rp 6.000.000
76. Dedi Darmadi: Rp. 1.500.000
77. Indra, Rp. 2.000.000
78. Irawan, Rp. 1.000.000
79. Ujang Supena: Rp 1.000.000
80. Agus Afiyanto: Rp. 1.000.000
81. Bambang Agus Suhardiman: Rp. 1.000.000
82. Budi Handoko: Rp. 1.000.000
83. Dede Rahmat: Rp. 1.000.000
84. Fauzan: Rp 1.000.000
85. Handriyan: Rp. 1.000.000
86. Muhammad Ardian: Rp. 1.000.000
87. Novian Surya Perdana: Rp. 1.000.000
88. Subandi: Rp. 1.000.000
89. Sutriyono Widodo: Rp. 1.000.000
90. Rizky Andreansyah: Rp. 4.000.000
Namun dari 90 orang itu, Dewas KPK hanya menjatuhkan sanksi ke 78 orang sedangkan 12 orang sisanya diserahkan ke Sekretariat Jenderal (Setjen) KPK karena perbuatan pungli dilakukan sebelum terbentuknya Dewas KPK.
Apa saja sanksi yang dijatuhkan?
“Semua dikenakan Pasal 4 ayat 2 huruf b Peraturan Dewan Pengawas No 3/2021. Apa itu? Yaitu perbuatan menyalahgunakan kewenangan, jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki, termasuk menyalahgunakan pengaruh sebagai insan Komisi dalam pelaksanaan tugas untuk kepentingan pribadi,” kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean.
“Menjatuhkan sanksi berat kepada para terperiksa, masing-masing berupa permintaan maaf secara terbuka langsung,” imbuh Tumpak.
Artinya Dewas menjatuhkan sanksi berupa permintaan maaf kepada 78 orang. Sisanya yaitu 12 orang dikembalikan ke Setjen KPK untuk diproses lebih lanjut.
Tapi kenapa cuma minta maaf?
Hal ini pula yang menuai kritik keras dari publik. Terlebih ternyata sanksi minta maaf itu diucapkan di internal KPK saja. Menurut Tumpak selaku Ketua Dewas KPK, sanksi yang dijatuhkan adalah sanksi yang terberat. Kenapa?
“Perlu saya jelaskan juga, sejak pegawai KPK berubah menjadi ASN pada 1 Juni 2021, maka sanksi etik untuk pegawai hanya berupa sanksi moral. Dalam hal ini permintaan maaf. Yang terberat adalah perminta maaf secara terbuka dan langsung,” ujar Tumpak.
“Bahwa, setelah berubah menjadi ASN, maka hukuman kita tidak bisa lain daripada hukuman yang namanya sanksi moral. Karena, sanksi etik pada ASN itu sanksi moral,” imbuhnya.
Dahulu, sebelum pegawai KPK menjadi ASN, kata Tumpak, Dewas bisa memberikan sanksi berupa pemberhentian. Untuk sekarang, sanksi pemberhentian hanya bisa dilakukan jika pegawai KPK melanggar disiplin PNS. Sedangkan penerapan sanksi disiplin PNS bukan wewenang Dewas KPK. Hal itu merupakan ranah Sekjen KPK.
“Disiplin PNS ini bukan merupakan ranah daripada Dewas untuk mengadilinya, itu akan diadili oleh Sekjen ke bawah termasuk juga Inspektorat,” tuturnya.
“Jadi, kalau mau diberhentikan, dipecat, dan sebagainya, itu nanti pada waktu diputus dalam pelanggaran disiplin sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021,” tambahnya.
Terlepas dari itu Dewas KPK masih memiliki tunggakan proses etik untuk 3 orang sisanya yang rencananya akan diadili secara etik pada bulan Maret 2024, termasuk sosok ‘Hengki’ yang disebut KPK sebagai otak dari pungli.
“Hengki ini dulu pernah menjadi pegawai KPK sebagai PNYD, pegawai negeri yang dipekerjakan yang berasal dari Kemenkumham. Dia dulu juga berada di pegawai yang diperkerjakan di Rutan KPK sebagai koordinator keamanan dan ketertiban, sekarang sudah tak ada lagi di sini. Saya tidak tahu di mana, katanya sudah di pemda DKI,” kata Tumpak.
Dari penelusuran, Hengki pernah bertugas di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Jakarta. Kemudian, Hengki ditugaskan di KPK RI berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: SEK.2-44.KP.04.04 Tahun 2018 tanggal 22 Februari 2018.
Setelahnya Hengki menjadi PNYD di KPK. Dan sejak 2022 Hengki beralih status menjadi pegawai di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) DKI Jakarta hingga saat ini.
Tumpak menyebut Hengki-lah yang menunjuk orang di rutan yang disebut sebagai ‘lurah’, yang bertugas mengumpulkan uang dari tahanan. Tahanan di rutan juga dikoordinasikan oleh seseorang yang dituakan dengan julukan ‘korting’.
Pungli yang dilakukan berbagai macam. Albertina Ho menyebut para tahanan yang ingin menyelundupkan ponsel ke rutan harus membayar Rp 10 juta hingga Rp 20 juta. Pun untuk mengecas ponsel, para tahanan dimintai uang.
“Sekitar berapa ya, Rp 10-20 juta kali ya, selama dia mempergunakan HP itu kan, tapi nantikan ada bulanan yang dia bayarkan,” ujarnya.
“Ngecas HP-nya sekitar Rp 200 sampai Rp 300 ribu, per satu kali,” imbuhnya.
Lebih dari 10 Orang Jadi Tersangka
Kini pembahasan masuk pada urusan pidana. KPK sejauh ini menyebut sudah menetapkan lebih dari 10 orang sebagai tersangka termasuk Hengki.
“Yang di Rutan KPK ada kemarin inisial H yang sudah disebutkan Dewan Pengawas KPK juga, kami pastikan ini juga bagian dari proses yang kemarin saya sampaikan 10 orang lebih yang sudah ditetapkan tersangka,” kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri saat jumpa pers, Jumat (23/2/2024).
Sayangnya KPK masih menutup rapat siapa saja tersangka dari kasus pungli rutan. Namun, Ali menyebut tidak semua pihak yang terjerat di etik dalam kasus tersebut bisa dijerat secara pidana.
“Tidak semua orang yang kemudian dihukum etik berarti dia melakukan pidana. Karena di KPK yang bisa dihukum etik atasan langsungnya misalnya, yang dia tidak menikmati hasil kejahatan tapi dia tidak melakukan pengawasan terhadap bawahannya, itu bisa kena etik. Tapi apakah bisa dipidana? Kalau logika umumnya kan tidak bisa,” tutur Ali.
Kabar terakhir menyebutkan bahwa KPK juga melakukan penggeledahan terkait kasus ini. Penggeledahan dilakukan di rutan-rutan yang dikelola KPK yaitu rutan di gedung Merah Putih KPK, rutan di Pomdam Jaya Guntur, dan rutan yang berada di gedung ACLC atau gedung lama KPK.
Dari penggeledahan itu, KPK penyidik menemukan barang bukti dokumen terkait penerimaan sejumlah uang. Penyitaan dan analisis dilakukan terhadap barang bukti itu untuk jadi bagian dalam pemberkasan perkara.
“Tim Penyidik menemukan dan mengamankan bukti antara lain berbagai dokumen catatan kaitan penerimaan sejumlah uang,” kata Ali.
Episode pungli ini masih terus berlanjut. Mari nantikan akan ada kejutan apa lagi dari KPK yang mengusut pungli di kantornya sendiri.
Sumber: detik