ABWNEWS.CO – Pakar hukum tata negara dan Guru Besar Fakultas Hukum UII, Prof Dr Ni’matul Huda mengatakan keikutsertaan Anies Baswedan di Pilkada Jakarta pada akhir tahun 2024 sangat menarik dicermati. Hal ini karena potensi dia memimpin kembali lagi pada periode lima tahun ke depan kini terbuka lebar.
‘’Peluang Anies memimpin atau menjadi gubernur Jakarta lewat kontestasi PIlkada 2024 cukup besar. Dia saya lihat belum punya pesaing yang sepadan di mantan ibu kota itu. Apalagi periode sebelumnya Anies sudah sukses menunaikan 23 janji kampanye di Pilkada 2107. Berbeda dengan Pilpres lalu, kali ini kans Anies memenangkan pilkada susah dihambat,’’ kata Ni’matul dalam wawancara dengan KBA News, Kamis petang, 20 Juni 2024.
Melihat kenyataan yang ada, lanjut Na’matul meski status ibu kota Indonesia di pindah ke kota bentukan baru di wilayah pedalaman Kalimantan Timur, keberadaan Jakarta tak bisa tergantikan. Adanya IKN malah membuat Jakarta memiliki keleluasaan untuk membuat Jakarta sebagai kota global.
“Jadi peran IKN tidak bisa menggantikan Jakarta karena kota yang dahulu disebut Batavia ini sudah punya sejarah dan marwah sendiri bagi Indonesia. Inilah yang tak bisa dipindahkan ke IKN. Apalagi ketika Anies ketika menjadi gubernur Jakarta pada periode 2017-2022, dia telah termasuk salah satu dari 100 gubernur terbaik di dunia. Maka ke depan bila menjabat gubernur lagi, dia harus membangun kota Jakarta menjadi lebiih baik lagi, semakin humanis, serta mengglobal,’’ tegas Ni’matul.
Menyinggung soal adanya manuver sebagian pihak yang akan memasangkan Anies bersama Kaesang, Ni’matul mengatakan hal itu akan menjadi kontra produktif. Ini karena pada Pilpres 2024 sudah bersaing dengan kakaknya di mana pasangan 01 mengkritik keras dinasti politik dan nepotisme. “Nah, kalau di Pilkada Jakarta 2024 sampai berpasang dengan pasangan yang dikirtik itu. Maka akan menjadi kontraproduktif. Bahkan bisa disebut bunuh diri politik bagi Anies.”
Dalam kasus Judicial Reviews di Mahkamah Agung (MA) soal pengujian peraturan KPU yang mengabulkan permohonan dengan mengubah redaksi syarat umur bukan untuk pendaftaran maju dalam pilkada, tetapi diubah menjadi untuk batas usia setelah pelantikan, menurut Ni’matul itu bukan kewenangan Mahkamah Agung. ‘’Soal aturan itu merupakan open legal policy dari DPR. ‘’Jadi bukan ranah kewenangan MA.’’Akibatnya KPU tak boleh memakai putusan MA tersebut untuk mengatur pelaksanaan pilkada”.
‘’Yang pasti, KPU itu harus merujuk pada bunyi undang-undang pemilu. Aturan jangan diubah di tengah jalan karena akan menimbulkan ketidakpastian dari sisi hukum dan keadilan,’’ kata Ni’matul Huda menadaskan.
Sumber: kba